Catatan Dari Malam Tasyakuran Satu Abad Muhammadiyah

Gagal mengikuti Pembukaan Muktamar 1 Abad Muhammadiyah seperti yang saya ceritakan dalam Catatan saya sebelumnya, saya bertekat untuk mengikuti acara yang diselenggarakan malamnya, yaitu Malam Tasyakuran 1 Abad Muhammadiyah. Setelah janjian dengan teman saya Ari, dan di-sms teman saya yang lain, Yuar dan Fani, saya memutuskan untuk berangkat ke lokasi bersama teman-teman IMM yang juga ingin berangkat ke sana. Rencananya kami akan kumpul di Mushalla al-Iman pukul 15.30 WIB, tetapi karena satu dan lain hal maka kami baru bisa berangkat pukul 17.00 WIB itupun hanya dua motor. Satu motor ditumpangi  oleh saya dan Ari dan satu motor lainnya ditumpangi oleh Kitti dan satu temannya yang agaknya adalah seorang Immawati.
Sesampai di Stadion Manda Krida, tempat berlangsungnya acara, kami bertemu teman-teman lain, ada Mas Chanif, Dika, Irfa, Febri, Izza, Taufik, dan teman-teman lain yang belum begitu saya kenal. Setelah shalat Maghrib, kami kemudian masuk ke stadion. Saya peribadi merasa agak terburu-buru untuk masuk saat itu. Walaupun jam baru menunjukkan pukul 18.30 dan acara baru akan dimulai pukul 20.00 saya sudah kebelet masuk ke stadion. Hal ini karena masih trauma pagi tadi tidak bisa masuk ke stadion tempat Pembukaan Muktamar 1 Abad karena telat datangnya.
Ketika masuk di stadion saya menyadari bahwa acara kali ini agaknya tidak seramai pagi tadi. Saat saya memasuki tempat stadion satu setengah jam sebelum acara dimulai, masih banyak sekali tempat lowong. Sementara pagi tadi saya datang 3 jam sebelum acara dimulai, sudah tidak ada tempat lagi untuk penggembira. Perkiraan saya bahwa acara ini tidak seramai acara pagi terbukti sampai acara dimulai, tempat duduk di Stadion Mandala Krida tidak benar-benar penuh, masih terdapat tempat lowong. Sangat berbeda dengan kejadian di pagi harinya.
Tidak ramainya acara tasyakuran malam itu bisa jadi karena adanya acara tandingan yang lebih populer, yaitu Big Match Piala Dunia Argentina Vs Jerman. Mungkin para penggembira yang tadi pagi berbondong-bondong lebih memilih menonton acara tersebut. Tetapi ini sangat kecil kemungkinannya. Lha wong, pagi tadi dengan berdesak-desakan mereka rela untuk menghadiri Pembukaan Muktamar, tidak mungkin karena acara bola mereka tidak menonton acara tasyakuran ini.
Bisa juga penggembira tersebut merasa kecewa tidak mendapat tempat di pagi harinya sehingga memutuskan untuk tidak hadir di malam harinya. Saya harap ini tidak terjadi. Atau bisa jadi juga sosialisasi dari panitia tentang adanya acara tasyakuran tersebut. Acara ini agaknya bukan acara rutin muktamar, artinya baru diadakan pada muktamar kali ini sehingga tanpa sosialisasi yang gencar bisa jadi para penggembira tidak tahu mengenai acara ini. Ini jika kita bersu’udzon. Husnudzonnya para penggembira memeng tidak menginap di Jogja hari itu sehingga selepas pembukaan muktamar pagi harinya mereka segera pulang ke daerah masing-masing, terutama daerah sekitar Jogja seperti Klaten, Magelang, dsb.
Tapi, daripada saya memikirkan kenapa malam tasyakuran ini sepi, lebih baik saya memperhatikan acaranya. Acara malam ini unik dan agaknya lebih menonjolkan unsur kebudayaan Indonesia. Terlihat dari pakaian Pak Hery Zudianto, Walikota Jogjakarta sekaligus ketua panitia penyambutan, yang berpakaian adat jawa. Demikian juga Pak Dien Syamsuddin yang berpakaian adat jawa dengan motif Muhammadiyah, menurut saya pakaian Pak Dien tersebut adalah pakaian yang unik. Dalam sambutannya pun, Pak Dien berusaha menggunakan beberapa bahasa daerah. Saat mengucapkan bahasa jawa, logatnya menjadi lucu karena memang Pak Dien bukan aseli jawa.
Penonjolan kebudayaan daerah pun terlihat dari ragam kesenian yang ditampilkan. Ditampilakan beberapa tarian daerah yang sebagiannya bernuansa dakwah, semisal Zapin dan Rodhat Sari. Saat menonton pertunjukan tersebut saya merasa bahwa inilah salah satu tafsiran pendekatan kulutral yang tengah digaungkan Muhammadiyah. Saya merasa ini adalah sebuah tindakan mencontohkan dari pimpinan pusat kepada warga Muhammadiyah untuk bisa menikmati kesenian (dengan memperhatikan kontennya) dan memanfaatkan saluran kebudayaan untuk dakwah.
Saat menonton pertunjukkan tersebut saya baru sadar, atau dengan kata lain mendapat insight bahwa sesungguhnya sangat banyak jenis-jenis kesenian daerah yang bisa dijadikan jalur dakwah. Salah satunya tari Rodhat Sari ini. Walaupun telah berdiam di Yogyakarta selama 10 tahun saya sangat jarang melihat tari ini. Padahal tari ini sangat banyak mengandung pesan-pesan moral yang bisa diserap oleh orang-orang yang menontonnya juga oleh orang yang menarikannya. Juga tari Zapin yang diiringi dengan dendang lagu yang mengandung nasihat.
Ini sebuah pemahaman yang saya rasa baru karena selama ini saya merasa jarang sekali menganggap seni klasik seperti Rodhat Sari (Kubro) dan Zapin sebagai ranah kebaikan. Saya lebih suka memilih kesenian modern seperti musik (nasyid), atau marching band (misalnya Mehter), atau puisi (seperti puisi-pusisi Taufik Ismail), atau dunia teater (termasuk filem) sebagai ranah penyebaran kebaikan. Tetapi untuk seni klasik sangat jarang. Sehingga saat ada penggiatan kebudayaan klasik (tradisional), yang terbayang di pikiran saya adalah dunia kesenian yang penuh klenik. Saya kira demikian juga di kalangan masyarakat umum, jika dibicarakan tentang tarian Jawa, yang dikenal adalah tari-tari yang memperlihatkan aurat perempuan. Jarang sekali yang mengenar tari Rodhat Sari….
Dengan kata lain, saya merasa, tontonan malam tersebut menjadi insight dan meruapakan sebuah pengajaran. Saya belajar bahwa kebudayaan klasik/tradisional Indonesia tidak selalu dipenuhi kelnik atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat seperti membuka aurat perempuan.  Tetapi para leluhur kaum muslimin dahulu telah melakukan berbagai penyesuaian yang menghasilkan budya klasik tetapi berisi nilai-nilai moral yang pas bagi kaum muslimin, misal Kubro dan Zapin. Selain itu, saya merasa pertunjukkan tersebut bisa menjadi tuntunan dari pimpinan persyarikatan kepada warga persyarikatan untuk lebih memperhatikan dunia kesenian sebagai ladang amar makruf nahi mungkar.
Kemeriahan acara tidak berhenti di sana, dihadirkan pula pentas musik Muhammadiyah Simphoni Orchestra yang dikonduktori oleh Dwiki Dharmawan. Musik klasik tersebut dipadukan dengan musik klasik Indonesia (tradisional) oleh Kiyai Kanjeng. Musik yang indah hasil kolaborasi kedua kelompok musik tersebut ditambah dengan kualitas suara beberapa penyanyi ternama. Pentas seni berpuncak pada tari modern karya Didik Nini Thowok dengan diakhiri rangkaian kembang api. Saya merasa pentas ini merupakan pentas yang luar biasa dan kekecewaan saya tidak bisa mengikuti Pembukaan Muktamar 1 Abad terbayar sudah.
Memang ada teman-teman saya yang mengkritik acara-acara pembukaan muktamar dan malam tasyakuran sebagai acara hura-hura. Tetapi bukan di sini tempat membahasnya. Akan saya bahas di tulisan saya berikutnya,  insyaAlloh. Wallohu A’lam.

Catatan Dari Malam Tasyakuran Satu Abad Muhammadiyah

6 pemikiran pada “Catatan Dari Malam Tasyakuran Satu Abad Muhammadiyah

  1. adiebz berkata:

    akhi tolong kirimin ane puisi-puisi yang dibacakan taufik ismail itu sya ngebet banget pengin dapetin. maaakaaasih banget sebelumnya. jazaakumullaahu khoiron

    Suka

    1. cahyosetiadi berkata:

      wah sayangnya saya tidak punya, tidak merekam, dan tidak pula mencatat. coba njenengan/Anda menghubungi panitia muktamar 1 abad, siapa tahu bisa dicarikan…

      Suka

Tinggalkan komentar