Psikologi Puasa: Puasa dan Muraqabatulloh

Puasa seringkali disebut memiliki karakter unik. Karakter unik puasa sebagai ibadah yang pribadi. Seringkali para penceramah di saat Ramadhan menyitir hadits qudsi, atau firman Alloh yang dilisankan oleh Nabi Muhammad SAW: ash-shaumu li wa Ana ajzi bihi. Artinya, puasa itu adalah milik-Ku (Alloh) dan Aku (Alloh) yang akan membalasnya.

Dalam menyitir hadits qudsi tersebut, biasanya para penceramah akan menjelaskan tentang karakteristik puasa sebagai ibadah peribadi. Shalat saat dilaksanakan bisa tertangkap indera mata. Zakat, haji, syahadat, shadaqah, jihad, membantu orang, walaupun kita sembunyikan seperti apa, tetap tertangkapu indera mata kita. Tetapi puasa berbeda. Jika kita menjalankan puasa, tidak ada indera kita bisa menangkap kegiatan puasa kita. Hanya rasa kita saja yang memahami bahwa kita sedang puasa. Saat berpuasa, kita terlihat seperti orang biasa yang beraktivitas sehari-hari. Padahal kita sedang beribadah.

Saat suatu kegiatan tidak terdeteksi indera, maka yang bisa mengetahui benar tidaknya kegiatan kita itu hanyalah diri kita sendiri. Dengan pemahaman seperti ini, kita menjadikan diri kita sebagi penentu kegiatan kita. Kita yang melaksanakan, kita yang menilai, dan kita juga yang menentukan kualitas kegiatan kita. Artinya penggerak atau motivasi kita dalam berkegiatan itu berasal dari dalam diri kita sendiri atau motivasi intenal. Kondisi ini sangat berhubungan dengan aspek kontrol diri dalam berpuasa, selain kegiatan kita yang menahan diri dari berbagai hal. Jadi, kita menahan diri dari berbagai hal dengan dorongan dari dalam diri. Dengan kata lain, puasa meningkatkan motivasi internal dalam kontrol diri. Kondisi ini hanya dapat dicapai jika kita melakukan niat  berpuasa dengan baik. Jika kita berpuasa hanya karena takut dibicarakan masyarakat atau dihukum oleh orang tua maka motivasi internal dalam berpuasa tidak akan terlatih. Puasa yang demikianlah yang disebut oleh Rasulullah sebagai puasa yang hanya mendapatkan haus dan lapar saja. Tidak ada manfaatnya puasa tersebut.

Jadi, kunci mendapatkan manfaat puasa secara psikologis adalah dengan niat yang benar. Sebagai muslim, kita niat berpuasa tidak hanya untuk mendapatkan manfaat bagi diri untuk mendapatkan syurga, tetapi kita dianjurkan untuk beribadah karena Alloh. Alloh sebagai tujuan kita. Jadi, dalam berpuasa kita menyadari bahwa Alloh juga tahu kualitas puasa kita, selain diri kita sendiri. Dalam kondisi ramai ataupun sendiri, di tempat umum atau di tempat rahasia, di zahir dan di batin, kita berpuasa karena kita tahu dan sadar bahwa kita diawasi Alloh. Pengawasan Alloh atau kondisi kefahaman kita bahwa kita diawasi oleh Alloh disebut muraqabatullah.

Tanpa rasa diawasi oleh Alloh, puasa kita tidak akan sempurna dan hanya menghasilkan lapar dan haus. Tanpa rasa diawasi oleh Alloh, di saat sepi sendiri, dapat saja kita melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Atau di kala ramai, tanpa rasa diawasi Alloh, bisa saja kita melakukan hal-hal yang mengurangi nilai puasa kita misal kita mengeluarkan kata-kata hasud di dalam hati. Tetapi dengan rasa diawasi Alloh, di kala sepi ataupun ramai, kita tetap menjaga kualitas puasa kita. Jadi, kualitas puasa ditentukan oleh rasa kita diawasi oleh Alloh. Semakin baik muraqabatullah kita, semakin baik rasa kita diawasi oleh Alloh semakin baik kualitas puasa kita.

Di sisi lain, sebenarnya saat berpuasa kita sedang mempraktekkan muraqabatullah juga. Adalah fitrah manusia tidak ingin merugi. Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya akan adanya orang yang berpuasa tetapi merugi. Secara fitrah, manusia tidak ingin merugi dan kemudian berusaha untuk menjalankan puasa dengan baik agar tidak merugi. Ketika manusia ingin menjalankan puasa dengan baik maka, ia akan otomatis berusaha untuk tetap berpuasa di kala ramai dan sepi. Dalam kondisi ramai dan sendiri manusia itu berusaha menjaga kualitas puasanya. Ia menjaga puasa dengan harapan mendapatkan pahala dari Alloh SWT. Dengan harapan itu, manusia tersebut merasakan pengawasan Alloh dengan tingkatan apapun. Bisa jadi tingkatan rasa diawasi Alloh tersebut di tingkatan yang tinggi, tetapi bisa juga di tingkatan yang rendah.

Manusia yang berpuasa ingin mendapatkan pahala dari ibadah puasanya. Ia sadar bahwa pahala itu adalah hak Alloh untuk menganugerahkan kepada yang Alloh kehendaki. Ia sadar bahwa ia harus menjaga puasanya di hadapan Alloh agar bisa mendapatkan pahala itu. Ketika ia sadar bahwa Alloh adalah Tuhan Yang Maha Melihat maka, ia akan menjaga puasanya di kala ia merasa di awasi oleh Alloh, yaitu di setiap masa. Di kala ramai, ia sadar bahwa ia sedang menjaga puasanya, maka ia juga sadar bahwa ia sedang diawasi Alloh karena puasa tadi mengingatkannya akan pengawasan Alloh. keterhubungan rasa pengawasan Alloh dan puasa. Di saat sunyi, ia tetap menjaga puasanya. Ia sadar ada yang sedang dijaganya. Maka ia sadar pula di saat sunyi itu bahwa ia sedang diawasi oleh Alloh SWT. Itulah yang menjadikan orang yang melakukan puasa otomatis akan melatih rasa bahwa ia sedang diawasi oleh Alloh.

Latihan ini adalah proses pembiasaan. Dalam isitilah kalangan shufi, latihan disebut sebagai riyadhoh. Dalam pemahaman mengenai latihan ini, jiwa manusia dipandang memiliki kecenderungan yang jelek, yaitu inna an-nafsa la ammaratun bissu’. Nabi Yusuf AS mendakwahkan kepada Zulaikha bahwa jiwa itu sentiasa memerintahkan kepada hal yang buruk. Tetapi dia dapat dilatih untuk cenderung kepada hal-hal yang baik. Latihan jiwa yang asasi adalah zikir dengan kalimat thayyibah, la ilaha illalloh. Rasul SAW telah bersabda, jaddidu imanakum bi qauli la ilaha illalloh, perbaruilah iman kamu sekalian dengan mengatakan la ilaha illalloh. Kita diminta untuk memperokoh iman, mempertebal iman, melapisi iman hingga berlapis-lapis dengan zikir kalimat thayyibah. Ibadah sendiri adalah latihan untuk menuju Alloh. Firman Alloh, wa’bud rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin, beribadahlah kamu kepada Alloh hingga kamu mendatangi (janji) Alloh (berupa kematianmu). Ibadah sebagai sarana latihan jiwa yang sedang kita bahas kali ini adalah puasa.

Mungkin di awal, karena harapan akan pahala tadi, rasa sedang diawasi oleh Alloh itu hanya berlandaskan orientasi untung rugi. Karena takut rugi, ia melakukan perintah Alloh dengan keyakinan ia sedang diawasi oleh Alloh. Kondisi profit oriented ini biasanya memunculkan kondisi rasa diawasi oleh Alloh yang bersumber dari rasa takut atau khasyatulloh. Takut jika salah maka puasanya tidak mendapatkan ganjaran dari Alloh. Takut jika puasanya batal, ia akan mendapakan azab dari Alloh.

Kondisi takut yang mendasari ibadah ini boleh-boleh saja. Tetapi, kondisi ibadah yang bersumber dari rasa takut semata ini beresiko memunculkan kondisi Religious Trauma Syndrome atau kondisi trauma psikologis yang bersumber dari praktek keagamaan tidak benar dengan melandaskan semua praktek agama pada ketakutan akan hukuman setelah mati sehingga berusaha untuk mengumpulkan pahala agar selamat. Setelah mengalami RTS ini orang akan mengalami kondisi psikologis seperti orang trauma. Ketakutan, cemas, pikiran buruk, pikiran curiga, dll. yang tidak beralasan.

Sampai di sini, kita akan bertanya “Bukankah takut akan neraka ini benar secara syariat Islam? Tapi kok malah menimbulkan kondisi gangguan jiwa atau kondisi yang tidak tenang?” Takut akan neraka ini adalah benar sesuai syariat, tetapi kita juga perlu ingat bahwa Alloh telah memberikan anjuran untuk berharap akan rahmat Alloh, wa ma yaiasu min rawhillahi illal kafirin. Wasiat Nabi Nuh adalah yang berputus asa dari rahmat Alloh adalah orang-orang yang mengingkari Allloh. Artinya berharap kepada Alloh itu adalah bagian dari keimanan kepada Alloh. Selain itu, Alloh juga telah menetapkan cinta kepada-Nya sebagai bagian dari cinta kepada Alloh. Walladzina amanu asyaddu hubban lillah, orang-orang yang beriman kepada Alloh itu adalah yang kuat berlipat cintanya kepada Alloh. Lagi-lagi, cinta menjadi bagian dari keimanan kepada Alloh.

Jadi, bukan hanya takut kepada Alloh yang diharapkan dari kita saat “memandang” Alloh. Kita diharapkan juga “memandang” Alloh dengan rasa berharap dan rasa cinta. Memang Alloh adalah al-Malik Yang Maha Kuasa dan al-Jabbar Yang Maha Memaksa, tetapi di atas semua nama itu, Alloh menguatamakan bahwa Ia adalah ar-Rahman Yang Maha Pengasih. Alloh telah menetapkan bahwa inna rahmati taghlibu ghadhbi, rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku. Maka justru kita harus memandang Alloh dengan rasa cinta dan harap juga, tidak hanya rasa takut semata.

Ketiga rasa ini, disebutkan oleh para ustadz, menjadi fondasi bagi pengabdian kita kepada Alloh. Diharapkan motivasi kita itu tidak hanya semata karena takut, tetapi juga ada harap akan pahala dan syurga Alloh. Dan mungkin lebih melengkapi lagi akan kedua rasa itu adalah rasa cinta kepada Alloh. Cinta yang melahirkan rindu untuk menatap Alloh di hari kiamat.

Fondasi ibadah ini juga termasuk fondasi bagi ibadah puasa kita. Kita hendaknya berpuasa tidak hanya karena takut akan azab Alloh, untuk menghindari azab Alloh, tetapi juga ada rasa pengharapan dalam puasa itu akan rahmat Alloh. Dan yang lebih baik lagi, kita berpuasa juga karena kita cinta kepada Alloh Ta’ala. Dengan niat demikian, barulah puasa kita akan dapat menghantarkan kita kepada kondisi rasa diawasi oleh Alloh yang pas. Muraqabatulloh yang pas itu adalah rasa diawasi oleh Alloh yang bersendi pada rasa harap, rasa takut, dan rasa cinta kepada-Nya.

Adanya muraqabatulloh yang pas dan yang tidak pas seperti yang telah kita bahas, menjadikan adanya kebutuhan akan dua hal untuk memaknai puasa kita sebagai latihan atau riyadhah muraqabatulloh. Pertama adalah niat, kembali lagi ke niat. Sedangkan yang kedua adalah ilmu. Dengan niat kita memfokuskan hati dan perilaku kita untuk menjalani puasa dalam rangka takut, berharap, dan cinta kepada Alloh. Memfokuskan hati dan perilaku penting bagi tercapainya kondisi jiwa yang tercerahkan dalam berpuasa. Jika hanya fisik yang berpuasa tetapi hati kita tidak fokus kepada puasa justru berkhayal macam-macam, kita hanya akan mendapatkan lapar dan haus.

Tanpa niat yang memfokuskan hati dan pikiran, akan ada bahaya puasa yang mengancam yang bersumber dari keadaan kurang nutrisi atau deprivasi yang dialami tubuh. Tubuh yang mengalami kurang asupan selama puasa, tanpa ada fokus pikiran untuk puasa, akan menjadi tubuh yang nagih setelah ada kesempatan untuk melampiaskan keinginan. Dalam kasus puasa, kesempatan itu adalah buka puasa. Saat itu, tubuh akan memenuhi kondisi yang kurang dari fisik plus kebutuhan normalnya saat itu. Misal dalam kondisi biasa, kebutuhannya 1 ml gula. Saat berpuasa yang tanpa niat benar, tubuh saat berbuka akan meminta untutuk diberi asupan gula 1 ml plus kebutuhan gula saat makan sore yang biasanya didapatkan. Saat malam, metabolisme pembakaran di tubuh akan kurang dibandingkan siang. Asupan meningkat dan pembakaran berkurang, muncul timbunan sampah di dalam diri kita yang menjadi lemak.

Selain itu, jika tidak berniat, memfokuskan hati dan perilaku, kita juga akan mendapatkan dampak buruk dari kelaparan saat kita berpuasa. Saat lapar orang menjadi lebih mudah marah. Selain itu, saat lapar ada kondisi perubahan metabolisme dalam tubuh, yaitu berkurangnya gula darah secara drastis yang memunculkan kondisi mood atau hawa perasaan yang negatif. Kondisi ini akan menjadikan perasaan kita tidak nyaman atau memiliki hasrat untuk meluapkan emosi marah yang besar.

Niat yang memfokuskan hati dan jiwa kepada tujuan kita yaitu rasa harap, cinta, dan takut kepada Alloh, akan membantu menyelaraskan hati dan pikiran kita. Kita melakukan puasa secara sadar dengan harap, cinta, dan takut kepada Alloh. Dengan puasa yang demikian, baru kita bisa mengarah kepada latihan muraqabatulloh. Wallohu A’lam.

Psikologi Puasa: Puasa dan Muraqabatulloh

Aku Terharu (Curcol)

Yang tidak senang membaca curhatan, tidak usah dibaca……

Iseng mencari curriculum vitae untuk melamar pekerjaan, kutemukan sebuah email lama. Dariku kepada seorang teman tentang usulan nama putrinya yang baru dilahirkan. Sejujurnya dahulu saat mengetahui nama yang dianugerahkan kepada putrinya, ada sebuah rasa jengkel kepada temanku. Aku, saat itu, yang telah melakukan riset kecil untuk mencarikan nama terindah bagi putrinya merasa tidak dihargai. Memang was-was syaithan menguasaiku saat itu. Aku tidak ingin menjelajah lebih jauh tentang nama putri temanku dan mencari berita yang lain, sebuah represi kecemasan atas rasa tidak berhargaku.

Hari ini, entah mengapa Alloh mengizinkanku tahu bahwa usulanku telah digunakannya. Ada rasa bangga, ada berharga, dan ada rasa haru. Seperti aku hendak menangis, haru. Menangisi dzanku kepada teman dahulu. Rasa bahagia karena dihargai dan mungkin rasa bahagia karena aku masih punya teman. Ya Alloh, ampunkanlah dzanku dulu.

Anyway, aku terharu karena usulku diterima dua orang untuk disematkan pada putra dan putri mereka. Aku menjalin nama sebagai doa bagi anak-anak tersebut. Terkadang aku ingin menjadi seperti dewa-dewa di film-film India, mengangkat tangan dan  memberi berkat-berkat indah kepada anak-anak yang kukasihi, berharap masa depan mereka cerah dan mereka termuliakan seperti layaknya Bani Adam. Baru-baru ini temanku melahirkan dan lagi-lagi khayal tentang memberi berkat kepada anak bayi itu muncul. Ckckck, kompleks ketuhanan ini ….

Tapi aku bukan dewa, aku hanyalah manusia biasa. Aku hanya bisa mendoakan agar keselamatan dan kesejahteraan selalu dicurahkan Alloh kepada bayi-bayi mungil yang lahir ke alam donya ini. Dan ketika sesorang meminta usulan nama, aku akan merenungkannya dengan sangat, karena kuyakin nama adalah doa. Dan semoga doaku kepada anak-anak itu diijabah Alloh walaupun aku adalah orang yang hina dina.

Kepada temanku, aku memohon maaf karena dahulu telah berburuk sangka. Kepada dua orang yang menerima usulku, aku berterimakasih. Penerimaan kalian menunjukkan kepercayaan, penerimaan, dan penghargaan. Aku memang butuh itu. Terimakasih karena memenuhi kebutuhanku akan itu. Jazakumullohu….

Aku Terharu (Curcol)

“Saya Tidak Dapat Memahaminya”

Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Alan Turing, dalam film Imitation Game, saat menerima kabar kematian orang yang sangat dicintainya, Christopher. Alan mengulangi kalimatnya tersebut 2 kali kalau tidak salah. Dia tidak menangis dan kemudian mengakhiri perbincangan dengan kepala sekolanya tentang kematian Christopher dengan mengatakan bahwa ia tidak begitu mengenal Christopher. Kepala sekolanya, entah tahu atau tidak kebenaran pernyataan Alan, merespon dengan “Baguslah…dst.”

Scene film ini sungguh membuat bulu kuduk saya merinding. Membayangkan seorang anak dalam masa pertumbuhannya mengalami penyiksaan oleh teman-temannya. Ia merasa teman-temannya seluruhnya membencinya. Ia merasa sulit berkomunikasi dengan teman-temannya, mungkin dia ingin, tetapi akhirnya keinginan itu padam karena kesulitannya dan permusuhan teman-temannya. Alan merasa kesepian. Dalam kesepiannya, muncul Christopher muncul dan menolongnya. Tidak hanya dari penyiksaan teman-teman tetapi dari rasa kesendiriannya.

Alan dan Christopher menjalin hubungan bersama. Mereka menghabiskan waktu bersama dan bercakap dalam bahasa yang hanya mereka berdua yang tahu (kode). Perasaan kesendirian Alan menjadi terisi dengan perasaan penuh suka cita saat bersama Christopher. Kehidupan hubungan antar manusia dalam diri Alan hanya dipenuhi dengan Christopher. Saat dalam diri hanya ada gambaran seseorang, itu menjadi cinta. Alan merasa mencintai Christopher.

Kadang, saya merasa bahwa bisa jadi Alan salah mengartikan perasaan dirinya terhadap Christopher. Christopher adalah objek cinta kasih Alan pertama yang penuh di luar ibunya. Alan belum pernah terlihat berhubungan sosial dengan perempuan. Rasa kasih antar sahabat yang sangat dalam diterjemahkannya menjadi rasa cinta. Alan sendiri mengatakan bahwa sulit sekali baginya memahami pesan-pesan dalam bentuk kalimat yang diucapkan lawannya berkomunikasi. Pesan kata-kata saja dirasakan sulit oleh Alan, apalagi pesan berupa perasaan yang tidak berwujud nyata? Mungkin saja, Alan salah mendecripsi pesan perasaannya.

Anyway, Alan merasakan dirinya mencintai Christopher. Saat perasaan itu telah memuncak, Alan merasa sudah saatnya ia mengungkapkan perasaannya kepada Christopher, namun sayang yang ditunggu tidak muncul lagi setelah liburan musim panas.

Dan scene yang saya ceritakan di awal tulisan muncul. Dimulai dari pertanyaan Kepala sekolah tentang kedekatan Alan dengan Christopher. “Dia bukan teman dekat saya” kata Alan. Waktu itu sebenarnya tidak ada alasan Alan untuk menolak Christopher sebagai teman dekatnya, ia belum menerima kabar kematian Christopher, ia tidak diacam apapun oleh Kepala sekolahnya. Lalu mengapa Alan berbohong?

Menzies mengatakan bahwa Alan memiliki rahasia yang lebih dalam dariapada mata-mata terlihai sekalipun. “Kamu dipenuhi rahasia Alan” katanya. Itulah yang menjadikan Alan tidak jujur kepada Kepala sekolah saat ditanya tentang kedekatan hubungannya dengan Christopher. Alan merahasiakan hal tersebut, karena hanya ia dan Christopher yang tahu akan hubungan mereka. Bahkan mereka berkomunikasi secara rahasia.

Kondisi di mana seseorang menyimpan begitu banyak rahasia, bahkan untuk hal yang mungkin dipikirkan orang banyak tidak perlu disimpan, dalam pengalaman saya dibentuk dari kondisi jiwa yang merasa tidak aman terhadap lingkungan. Entah karena trauma, atau pengabaian di masa bayi, menjadikan seseorang menumbuhkan rasa tidak percaya yang mendasar terhadap lingkungan. Lingkungan sekitar dipandang jahat, dipandang tidak aman, dipandang tidak menyenangkan.

Entah bagaimana dengan masa kecil Alan, tetapi jelas digambarkan kekejaman yang dialami Alan yang dilakukan oleh teman-temannya. Kekejaman (baca: bully) yang terus menerus dialami oleh seorang remaja, bagaimanapun juga akan menimbulkan luka dalam jiwanya. Terlebih saat remaja ini tidak mampu melawan. Lama-kelamaan, remaja ini memunculkan perasaan bahwa lingkungan semuanya adalah berbahaya. Ini mungkin saja terjadi pada Alan.

Jauh sebelum penggambaran kekejaman teman-temannya, Alan digambarkan memisahkan kacang-kacangan berwarna hijau dan wortel yang berwarna oranye. Alan mengatakan bahwa keduanya, kacang dan wortel, HARUS dipisah karena warnanya yang berbeda. Saya sendiri, yang tidak begitu normal, menganggap hal ini adalah hal aneh. Saya merasa orang normal tidak akan melakukan itu. Ada sesuatu pada diri Alan yang memunculkan kebiasaan aneh tersebut.

Saya sendiri menerjemahkan itu adalah tanda bahwa sebelum alan dikejami oleh teman-temannya ia sendiri sudah mengalami rasa tidak aman yang mendasar terhadap lingkungan. Kekejaman teman-temannya hanya menambah besar rasa tidak aman tersebut. Alan menjadi mengembangkan benteng terhadap lingkungan. Tidak boleh unsur lingkungan masuk ke dalam bentengnya. Itulah yang memunculkan benteng informasi pada diri Alan. Pertukaran informasi dengan lingkungan memunculkan blend atau masuknya lingkungan dalam benteng Alan dan hal itu ia anggap akan membahayakannya. Alan merahasiakan dirinya dari lingkungan.

Saat menerima berita kematian Christopher, Alan mengatakan “Saya tidak dapat memahaminya”. Apa yang tidak dapat dipahami Alan? Kejadiannya, apa itu kematian? Takdirnya, mengapa Christopher harus mati di saat ia mencintainya? Apa maksud perkataan Kepala sekolah? Saya merasa pertanyaan-pertanyaan ini berkemelut di dalam diri Alan.

Yang paling utama dalam pemikiran saya, saat Alan mengatakan “Saya tidak dapat memahaminya” adalah seperti saat mesin mengucapkan itu. Artinya mesin itu tidak dapat memproses berita itu, berita itu tidak masuk ke dalam mesin, tidak menjadi bagian dari data dalam mesin. Begitu juga dengan Alan. Ia tidak memahami berita kematian Christopher, ia tidak dapat menerima berita kematian Christopher, ia menolak berita itu, berita itu tidak diprosesnya dan tidak akan menjadi bagian dari dirinya. Ia menganggap Christopher masih hidup.

Penolakan Alan terhadap berita itu tergambarkan dengan sangat apik dalam scene peemberitahuan berita kematian Christopher oleh Kepala sekolah. Alan tidak menangis walaupun tergambar di wajahnya kesedihan, kemarahan, ketidakmengertian yang dalam. Tetapi itu ditekannya dan ia menolak semua fakta yang menghubungkan perasaan dalam dirinya dengan Christopher, ia bukan teman, ia tidak bertukar pesan.

Semua informasi itu ditolak oleh Alan karena ia tu hanya akan menghasilkan rasa sakit yang saat itu ia rasa tidak dapat ditanggungnya. Ia menjadi sendiri lagi saat sebelumnya impiannya telah membuncah. Itu seperti kita diangkat ke langit melihat keindahan lalu dihempaskan ke tanah. Jika kita tidak bertahan, kita akan hancur. Dan bertahanlah yang dilakukan Alan, ia bertahan dengan menolak semua fakta yang menghubungnkannya dengan kasihnya akan Christopher. Jika ia tidak mengasihi Christopher tentu ia tidak terbang tinggi, dan jika Christopher tidak mati tentu ia tidak jatuh. Ia hanya berjalan di jalan biasa.

Walau rasa cinta yang berkait dengan ketidakterimaan akan kematian Christopher sudah dikubur dalam-dalam oleh Alan, tetapi tetap saja, itu ada dalam dirinya. Perasaan itu menjadi seperti hantu. Ia ada tetapi diabaikan oleh Alan dan tidak dilihatnya. Ia tidak melihat tetapi perasaan itu ada dalam dirinya, seperti hantu bukan? Alan dihantui oleh perasaan itu. Karena ia tidak melihat perasaan itu di dalam dirinya, hanya dihantui maka ia tidak sadar, banyak kehidupannya yang dipengaruhi perasaan itu.

Perasaan itu, cinta dan ketidakterimaan, sangat besar. Rasa cinta itulah yang memenuhi setiap relung hati Alan di masa remajanya. Rasa yang besar itu memunculkan kekuatan yang besar. Pengaruhnya terhadap kehidupan Alan besar walaupun tidak dilihat Alan. Ini yang disebut Freud kekuatan bahwa sadar yang mengendalikan manusia. Saya rasa, karena rasa cinta itu memenuhi relung hati Alan, maka arahan bawah sadar oleh rasa cinta itu meliputi segenap kehidupan Alan, termasuk passionnya untuk membangun sebuah mesin yang bisa meniru manusia.

Ini adalah manifestasi hasrat Alan untuk menghidupkan kembali Christopher yang bergabung dengan gairah Alan atas ilmu pengetahuan. Ini juga yang menjadi akar keyakinan Alan bahwa manusia dan mesin itu apa bedanya? Itu yang saya pikir. Imitation game bukanlah permainan untuk meniru enigma tetapi permainan Alan untuk membuat imitasi Chirstopher. Wallohu A’lam.

“Saya Tidak Dapat Memahaminya”