Puasa seringkali disebut memiliki karakter unik. Karakter unik puasa sebagai ibadah yang pribadi. Seringkali para penceramah di saat Ramadhan menyitir hadits qudsi, atau firman Alloh yang dilisankan oleh Nabi Muhammad SAW: ash-shaumu li wa Ana ajzi bihi. Artinya, puasa itu adalah milik-Ku (Alloh) dan Aku (Alloh) yang akan membalasnya.
Dalam menyitir hadits qudsi tersebut, biasanya para penceramah akan menjelaskan tentang karakteristik puasa sebagai ibadah peribadi. Shalat saat dilaksanakan bisa tertangkap indera mata. Zakat, haji, syahadat, shadaqah, jihad, membantu orang, walaupun kita sembunyikan seperti apa, tetap tertangkapu indera mata kita. Tetapi puasa berbeda. Jika kita menjalankan puasa, tidak ada indera kita bisa menangkap kegiatan puasa kita. Hanya rasa kita saja yang memahami bahwa kita sedang puasa. Saat berpuasa, kita terlihat seperti orang biasa yang beraktivitas sehari-hari. Padahal kita sedang beribadah.
Saat suatu kegiatan tidak terdeteksi indera, maka yang bisa mengetahui benar tidaknya kegiatan kita itu hanyalah diri kita sendiri. Dengan pemahaman seperti ini, kita menjadikan diri kita sebagi penentu kegiatan kita. Kita yang melaksanakan, kita yang menilai, dan kita juga yang menentukan kualitas kegiatan kita. Artinya penggerak atau motivasi kita dalam berkegiatan itu berasal dari dalam diri kita sendiri atau motivasi intenal. Kondisi ini sangat berhubungan dengan aspek kontrol diri dalam berpuasa, selain kegiatan kita yang menahan diri dari berbagai hal. Jadi, kita menahan diri dari berbagai hal dengan dorongan dari dalam diri. Dengan kata lain, puasa meningkatkan motivasi internal dalam kontrol diri. Kondisi ini hanya dapat dicapai jika kita melakukan niat berpuasa dengan baik. Jika kita berpuasa hanya karena takut dibicarakan masyarakat atau dihukum oleh orang tua maka motivasi internal dalam berpuasa tidak akan terlatih. Puasa yang demikianlah yang disebut oleh Rasulullah sebagai puasa yang hanya mendapatkan haus dan lapar saja. Tidak ada manfaatnya puasa tersebut.
Jadi, kunci mendapatkan manfaat puasa secara psikologis adalah dengan niat yang benar. Sebagai muslim, kita niat berpuasa tidak hanya untuk mendapatkan manfaat bagi diri untuk mendapatkan syurga, tetapi kita dianjurkan untuk beribadah karena Alloh. Alloh sebagai tujuan kita. Jadi, dalam berpuasa kita menyadari bahwa Alloh juga tahu kualitas puasa kita, selain diri kita sendiri. Dalam kondisi ramai ataupun sendiri, di tempat umum atau di tempat rahasia, di zahir dan di batin, kita berpuasa karena kita tahu dan sadar bahwa kita diawasi Alloh. Pengawasan Alloh atau kondisi kefahaman kita bahwa kita diawasi oleh Alloh disebut muraqabatullah.
Tanpa rasa diawasi oleh Alloh, puasa kita tidak akan sempurna dan hanya menghasilkan lapar dan haus. Tanpa rasa diawasi oleh Alloh, di saat sepi sendiri, dapat saja kita melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Atau di kala ramai, tanpa rasa diawasi Alloh, bisa saja kita melakukan hal-hal yang mengurangi nilai puasa kita misal kita mengeluarkan kata-kata hasud di dalam hati. Tetapi dengan rasa diawasi Alloh, di kala sepi ataupun ramai, kita tetap menjaga kualitas puasa kita. Jadi, kualitas puasa ditentukan oleh rasa kita diawasi oleh Alloh. Semakin baik muraqabatullah kita, semakin baik rasa kita diawasi oleh Alloh semakin baik kualitas puasa kita.
Di sisi lain, sebenarnya saat berpuasa kita sedang mempraktekkan muraqabatullah juga. Adalah fitrah manusia tidak ingin merugi. Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya akan adanya orang yang berpuasa tetapi merugi. Secara fitrah, manusia tidak ingin merugi dan kemudian berusaha untuk menjalankan puasa dengan baik agar tidak merugi. Ketika manusia ingin menjalankan puasa dengan baik maka, ia akan otomatis berusaha untuk tetap berpuasa di kala ramai dan sepi. Dalam kondisi ramai dan sendiri manusia itu berusaha menjaga kualitas puasanya. Ia menjaga puasa dengan harapan mendapatkan pahala dari Alloh SWT. Dengan harapan itu, manusia tersebut merasakan pengawasan Alloh dengan tingkatan apapun. Bisa jadi tingkatan rasa diawasi Alloh tersebut di tingkatan yang tinggi, tetapi bisa juga di tingkatan yang rendah.
Manusia yang berpuasa ingin mendapatkan pahala dari ibadah puasanya. Ia sadar bahwa pahala itu adalah hak Alloh untuk menganugerahkan kepada yang Alloh kehendaki. Ia sadar bahwa ia harus menjaga puasanya di hadapan Alloh agar bisa mendapatkan pahala itu. Ketika ia sadar bahwa Alloh adalah Tuhan Yang Maha Melihat maka, ia akan menjaga puasanya di kala ia merasa di awasi oleh Alloh, yaitu di setiap masa. Di kala ramai, ia sadar bahwa ia sedang menjaga puasanya, maka ia juga sadar bahwa ia sedang diawasi Alloh karena puasa tadi mengingatkannya akan pengawasan Alloh. keterhubungan rasa pengawasan Alloh dan puasa. Di saat sunyi, ia tetap menjaga puasanya. Ia sadar ada yang sedang dijaganya. Maka ia sadar pula di saat sunyi itu bahwa ia sedang diawasi oleh Alloh SWT. Itulah yang menjadikan orang yang melakukan puasa otomatis akan melatih rasa bahwa ia sedang diawasi oleh Alloh.
Latihan ini adalah proses pembiasaan. Dalam isitilah kalangan shufi, latihan disebut sebagai riyadhoh. Dalam pemahaman mengenai latihan ini, jiwa manusia dipandang memiliki kecenderungan yang jelek, yaitu inna an-nafsa la ammaratun bissu’. Nabi Yusuf AS mendakwahkan kepada Zulaikha bahwa jiwa itu sentiasa memerintahkan kepada hal yang buruk. Tetapi dia dapat dilatih untuk cenderung kepada hal-hal yang baik. Latihan jiwa yang asasi adalah zikir dengan kalimat thayyibah, la ilaha illalloh. Rasul SAW telah bersabda, jaddidu imanakum bi qauli la ilaha illalloh, perbaruilah iman kamu sekalian dengan mengatakan la ilaha illalloh. Kita diminta untuk memperokoh iman, mempertebal iman, melapisi iman hingga berlapis-lapis dengan zikir kalimat thayyibah. Ibadah sendiri adalah latihan untuk menuju Alloh. Firman Alloh, wa’bud rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin, beribadahlah kamu kepada Alloh hingga kamu mendatangi (janji) Alloh (berupa kematianmu). Ibadah sebagai sarana latihan jiwa yang sedang kita bahas kali ini adalah puasa.
Mungkin di awal, karena harapan akan pahala tadi, rasa sedang diawasi oleh Alloh itu hanya berlandaskan orientasi untung rugi. Karena takut rugi, ia melakukan perintah Alloh dengan keyakinan ia sedang diawasi oleh Alloh. Kondisi profit oriented ini biasanya memunculkan kondisi rasa diawasi oleh Alloh yang bersumber dari rasa takut atau khasyatulloh. Takut jika salah maka puasanya tidak mendapatkan ganjaran dari Alloh. Takut jika puasanya batal, ia akan mendapakan azab dari Alloh.
Kondisi takut yang mendasari ibadah ini boleh-boleh saja. Tetapi, kondisi ibadah yang bersumber dari rasa takut semata ini beresiko memunculkan kondisi Religious Trauma Syndrome atau kondisi trauma psikologis yang bersumber dari praktek keagamaan tidak benar dengan melandaskan semua praktek agama pada ketakutan akan hukuman setelah mati sehingga berusaha untuk mengumpulkan pahala agar selamat. Setelah mengalami RTS ini orang akan mengalami kondisi psikologis seperti orang trauma. Ketakutan, cemas, pikiran buruk, pikiran curiga, dll. yang tidak beralasan.
Sampai di sini, kita akan bertanya “Bukankah takut akan neraka ini benar secara syariat Islam? Tapi kok malah menimbulkan kondisi gangguan jiwa atau kondisi yang tidak tenang?” Takut akan neraka ini adalah benar sesuai syariat, tetapi kita juga perlu ingat bahwa Alloh telah memberikan anjuran untuk berharap akan rahmat Alloh, wa ma yaiasu min rawhillahi illal kafirin. Wasiat Nabi Nuh adalah yang berputus asa dari rahmat Alloh adalah orang-orang yang mengingkari Allloh. Artinya berharap kepada Alloh itu adalah bagian dari keimanan kepada Alloh. Selain itu, Alloh juga telah menetapkan cinta kepada-Nya sebagai bagian dari cinta kepada Alloh. Walladzina amanu asyaddu hubban lillah, orang-orang yang beriman kepada Alloh itu adalah yang kuat berlipat cintanya kepada Alloh. Lagi-lagi, cinta menjadi bagian dari keimanan kepada Alloh.
Jadi, bukan hanya takut kepada Alloh yang diharapkan dari kita saat “memandang” Alloh. Kita diharapkan juga “memandang” Alloh dengan rasa berharap dan rasa cinta. Memang Alloh adalah al-Malik Yang Maha Kuasa dan al-Jabbar Yang Maha Memaksa, tetapi di atas semua nama itu, Alloh menguatamakan bahwa Ia adalah ar-Rahman Yang Maha Pengasih. Alloh telah menetapkan bahwa inna rahmati taghlibu ghadhbi, rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku. Maka justru kita harus memandang Alloh dengan rasa cinta dan harap juga, tidak hanya rasa takut semata.
Ketiga rasa ini, disebutkan oleh para ustadz, menjadi fondasi bagi pengabdian kita kepada Alloh. Diharapkan motivasi kita itu tidak hanya semata karena takut, tetapi juga ada harap akan pahala dan syurga Alloh. Dan mungkin lebih melengkapi lagi akan kedua rasa itu adalah rasa cinta kepada Alloh. Cinta yang melahirkan rindu untuk menatap Alloh di hari kiamat.
Fondasi ibadah ini juga termasuk fondasi bagi ibadah puasa kita. Kita hendaknya berpuasa tidak hanya karena takut akan azab Alloh, untuk menghindari azab Alloh, tetapi juga ada rasa pengharapan dalam puasa itu akan rahmat Alloh. Dan yang lebih baik lagi, kita berpuasa juga karena kita cinta kepada Alloh Ta’ala. Dengan niat demikian, barulah puasa kita akan dapat menghantarkan kita kepada kondisi rasa diawasi oleh Alloh yang pas. Muraqabatulloh yang pas itu adalah rasa diawasi oleh Alloh yang bersendi pada rasa harap, rasa takut, dan rasa cinta kepada-Nya.
Adanya muraqabatulloh yang pas dan yang tidak pas seperti yang telah kita bahas, menjadikan adanya kebutuhan akan dua hal untuk memaknai puasa kita sebagai latihan atau riyadhah muraqabatulloh. Pertama adalah niat, kembali lagi ke niat. Sedangkan yang kedua adalah ilmu. Dengan niat kita memfokuskan hati dan perilaku kita untuk menjalani puasa dalam rangka takut, berharap, dan cinta kepada Alloh. Memfokuskan hati dan perilaku penting bagi tercapainya kondisi jiwa yang tercerahkan dalam berpuasa. Jika hanya fisik yang berpuasa tetapi hati kita tidak fokus kepada puasa justru berkhayal macam-macam, kita hanya akan mendapatkan lapar dan haus.
Tanpa niat yang memfokuskan hati dan pikiran, akan ada bahaya puasa yang mengancam yang bersumber dari keadaan kurang nutrisi atau deprivasi yang dialami tubuh. Tubuh yang mengalami kurang asupan selama puasa, tanpa ada fokus pikiran untuk puasa, akan menjadi tubuh yang nagih setelah ada kesempatan untuk melampiaskan keinginan. Dalam kasus puasa, kesempatan itu adalah buka puasa. Saat itu, tubuh akan memenuhi kondisi yang kurang dari fisik plus kebutuhan normalnya saat itu. Misal dalam kondisi biasa, kebutuhannya 1 ml gula. Saat berpuasa yang tanpa niat benar, tubuh saat berbuka akan meminta untutuk diberi asupan gula 1 ml plus kebutuhan gula saat makan sore yang biasanya didapatkan. Saat malam, metabolisme pembakaran di tubuh akan kurang dibandingkan siang. Asupan meningkat dan pembakaran berkurang, muncul timbunan sampah di dalam diri kita yang menjadi lemak.
Selain itu, jika tidak berniat, memfokuskan hati dan perilaku, kita juga akan mendapatkan dampak buruk dari kelaparan saat kita berpuasa. Saat lapar orang menjadi lebih mudah marah. Selain itu, saat lapar ada kondisi perubahan metabolisme dalam tubuh, yaitu berkurangnya gula darah secara drastis yang memunculkan kondisi mood atau hawa perasaan yang negatif. Kondisi ini akan menjadikan perasaan kita tidak nyaman atau memiliki hasrat untuk meluapkan emosi marah yang besar.
Niat yang memfokuskan hati dan jiwa kepada tujuan kita yaitu rasa harap, cinta, dan takut kepada Alloh, akan membantu menyelaraskan hati dan pikiran kita. Kita melakukan puasa secara sadar dengan harap, cinta, dan takut kepada Alloh. Dengan puasa yang demikian, baru kita bisa mengarah kepada latihan muraqabatulloh. Wallohu A’lam.